Sebelum
panjang lebar penulis mengutarakan maksud dalam tulisan singkat ini,
izinkan penulis mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” kepada Lembaga Kantor
Berita Nasional (LKBN) ANTARA, yang jatuh pada tanggal 13 Desember sekarang ini.
Ada alasan kenapa di lead tulisan
ini penulis mengawali dengan mengucapkan selamat ulang tahun kepada
LKBN ANTARA. Salah satu alasannya adalah, dari para senior di ANTARAlah
penulis mendpatkan hampir seluruh ilmu tentang dunia pers dan
jurnalistik, termasuk bagaimana penulis diajarkan untuk mengkritisi
sebuah permasalahan tanpa harus mencaci apalagi menghujat. Sebab belum
tentu seorang yang memberi krtikan dengan hujatan bisa lebih baik dari
orang yang di kritik tersebut.
Berdiri tegak, tapi tawadhu, radikal tapi santun, motto itulah yang penulis pakai selama bergabung dengan ANTARA.
Antara Idealisme dan Keperawanan
Dunia
pers adalah dunia yang penuh tantangan dimana idealisme kita sebagai
seorang jurnalis di pertaruhkan. Sudah banyak yang menjadi korban
sehingga idealisme seorang jurnalis dari dalam dirinya hilang karena
dipertaruhkan di tengah-tengah kebutuhan dan desakan dari berbagai
penjuru.
Sampai-sampai
penulis berani menyebutkan, bahwa mempertahankan idealisme
ditengah-tengah berbagai macam tuntutan kebutuhan ibarat seorang
perempuan yang mempertahankan keperawanannya.
Suatu
saat, cepat atau lambat keperawanan perempuan tersebut akan hilang,
hilang karena terpaksa atau dipaksa, hilang secara normal atau tidak
normal karena desakan tuntutan kebutuhan (terutama kebutuhan ekonomi).
Begitupun
idealisme seorang pers/jurnalis. Suatu saat idealismenya tersebut akan
luntur bahkan hilang karena dipaksa atau terpaksa, secara normal
ataupun tidak normal. Karena kita tidak menjamin bahwa perjalanan
seseorang bisa begitu saja lurus dan suci ditengah-tengah desakan
kebutuhan, apalagi ketika kita didesak oleh kebutuhan ekonomi. Tentunya
setiap orang mengharapkan kehidupan yang lebih baik dan layak.
Begitupun seorang jurnalis. Ya atau tidak, terserah bagaimana anda
menjawabnya.
Ketika
mulai memasuki dunia pers dan jurnalis penulis pernah mendapat
kritikan dari seorang teman mahasiswa pergerakan yang sampai sekarang
masih suka “demo” memberikan kritikan dan hujatan terhadap pemerintah.
Beliau bilang bahwa idealisme saya sebagai mahasiswa telah tergadaikan
dan hilang, karena beliau menganggap bahwa saya telah menjadi mahasiswa
pengecut yang tidak berani bersuara di jalanan dengan melakukan aksi
demonstrasi.
Penulis
hanya bisa tersenyum mengiyakan kritikan tersebut dan dalam hati
penulis bertanya “emang idealisme itu seperti apa dan harus bagaimana
supaya tidak hilang?”.
Stop Menghujat
Lebih baik kita berhenti menghujat (kepada siapapun), karena belum tentu kita bisa lebih baik dari orang yang kita hujat.
Di
ANTARA penulis mendapat pelajaran tentang bagaimana memberi masukan
tetapi tidak harus memaksa supaya orang yang diberi kritikan atau
masukan mengikuti apa yang kita katakan. Setiap generasi mempunyai
tantangan dan permasalahan yang berbeda dan tentunya setiap permasalahan
diselesaikan dengan cara yang berbeda pula.
Generasi
kita (kaum muda) dengan mereka yang sekarang menjadi pemimpin (orang
tua) pastinya mempunyai pandangan yang berbeda terhadap sebuah
permasalahan, dan tentunya cara penyelesaiannya pun akan berbeda pula,
tidak bisa mereka harus mengikuti cara kita. Biarlah mereka menggunakan
cara mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah, terutama permasalahan
yang menimpa bangsa dan negara ini. Kasihan mereka kalau harus
terus-menerus menerima kriitikan dan hujatan (mending kalau kritikan
kita membangun), kapan mereka kerjanya buat ngurus bangsa dan negara
ini?
Tugas dan kewajiban kita sebagai kaum yang katanya Intelek adalah
memberikan masukan, bukan menghujat. Tapi kita juga harus ingat,
masukan yang kita berikan kepada mereka bukan berarti harus dipaksakan
supaya diikuti. Hak pakai ada pada mereka. Mau dipakai ataupun tidak,
bukan urusan kita.
Kata Siapa Saya Tidak Idealisme?
Argumen
santun penulis untuk meng-kick balik mereka yang berkata bahwa
idealisme penulis sudah luntur bahkan hilang adalah dengan mengembalikan
makna idealisme itu sendiri.
Idealisme berasal dari kata ideal yang mendapat tambahan isme. Ideal adalah sesuai atau pas, sedangkan sebuah kata jika diakhiri oleh imbuhan isme, akan menjadi sebuah aliran atau jalan. Berarti, Idealisme adalah sebuah
sifat yang mengharuskan kita sesuai atau pas. Sesuai dan pas dengan
siapa? Ya sesuai dan pas dengan keadaan kita masing-masing, Karena kita
mempunyai keadaan yang berbeda. Prinsipnya, saya bukan anda, dan anda
bukan saya.
Anda
yang mahasiswa, silahkan anda ber-idealisme layaknya mahasiswa, anda
yang pers atau jurnalis silahkan anda ber-idealisme layaknya pers atau
jurnnalis dan mungkin anda yang koruptor, silahkan anda ber-idealisme
layaknya koruptor itu seperti apa.
Jadi
mereka yang menganggap bahwa penulis sudah tidak lagi memiliki
idealisme, itu salah besar. penulis masih tetap idealis, tapi tentunya
dengan idealisme yang sekarang, bukan bukan yang dulu.
Satu
hal yang mungkin sebagai renungan untuk para mahasiswa yang merasa
dirinya mahluk yang paling memiliki idealisme. Manusia adalah mahluk
yang tidak diam dalam satu martabat, manusia adalah mahluk yang terkena
oleh perubahan, sifat manusia akan selalu berbeda dan berubah. Apalagi
mereka yang mengaku sebagai Politikus, janji pagi tidak akan
terpakai di sore hari, dan janji sore tidak akan terpakai di malam hari.
Kurang lebih seperti itulah filosofinya.
Mengutip
perkataan salah seorang teman di kantor tatkala dirinya dikatakan
sudah tidak lagi idealis oleh seorang teman mahasiswa di kampusnya.
“Adakalanya Idealisme akan berbenturan dengan realita, dan buat saya
sendiri, adalah menjalani realita yang ada dengan idealisme yang ada”.
Artinya, jalanilah kehidupan ini dengan tugas dan fungsi kita sebagai
apa dan berperan sebagai siapa.
Terakhir
penulis mengajak, mari kita belajar untuk lebih santun dalam
memberikan masukan ataupun kritikan. Manusia memang dituntut untuk
kritis dalam menillai sebuah permasalahan. Tapi ingat, kritis bukan
berarti harus dengan hujatan ataupun cacian apalagi sampai merusak
fasilitas yang ada. Ruginya negara ini, berarti kerugian juga buat kita
sebagai penghuninya. Wallahu’alam.
Adi Fikri Humaidi
Jakarta, 13 Desember 2010
No comments:
Post a Comment