Oleh : Adi Fikri Humaidi
Saya ingin memulai tulisan saya
ini dengan kisah sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. Saat menggantikan posisi
Rasulullah SAW ditempat tidur dan mengecoh kaum kafir Quraisy yang waktu itu
sudah bersiap membunuh Rasulullah ditempat tidurnya. Kaget kaum Quraisy pada
waktu itu ternyata orang yang mereka incar sudah hilang dan berganti rupa
menjadi Sayyidina Ali.
Apa yang mendorong Sayyidina Ali
berani melakukan itu, dan rela menggantikan posisi Rasulullah SAW, padahal
waktu itu taruhannya nyawa? Penulis yakin, kalau bukan karena jiwa ksatria yang
dimiliki Sayyidina Ali dan rasa sayangnya kepada Rasulullah SAW mustahil
Sayyidina Ali mau melakukannya.
Kembali ke soal kerelawanan,
secara umum kerelawanan adalah segala bentuk bantuan yang diberikan secara
sukarela untuk membantu atau menolong sesama. Sedangkan relawan adalah
seseorang yang sukarela meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya untuk
menolong sesama yang sedang membutuhkan.
Pada dasarnya, sifat kerelawanan
itu dimiliki oleh setiap manusia, khususnya oleh orang Indonesia yang terkenal
dengan sifat ramah, santun serta memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Bahkan
sifat-sifat tersebut sering diajarkan di setiap jenjang pendidikan kita dan
selalu ditekankan harus di amalkan dimanapun
dalam setiap aktivitas kita.
Dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda; “Barang siapa yang melepaskan
satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah SWT akan melepaskan darinya satu
kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang
lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang
menutup aib seorang muslim, pasti Allah akan menutup aibnya di dunia dan di
akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong
saudaranya”.
Tidak ada lagi alasan, khususnya kita
umat Muslim untuk tidak peduli terhadap penderitaan dan kesusahan saudara kita sesama
manusia. Apalagi islam sendiri menekankan setiap penganutnya untuk bersikap
tawazun (seimbang) dalam arti, baik kualitas hubungannya dengan Allah, juga
baik kualitasnya dengan sesama manusia.
Menjadi Relawan Kemanusiaan
Saat ini penulis sedang bertugas
menjadi relawan kemanusiaan ACT di Lombok. Melihat langsung bagaimana kondisi
Lombok saat ini dimana banyak orang datang dari berbagai kalangan juga utusan
mengirimkan bantuannya untuk Lombok, membuat penulis yakin bahwa ini adalah
modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu sifat solidaritas dan rasa
kemanusiaanya yang sangat tinggi kepada sesama, terlebih untuk bangsanya
sendiri.
Ribuan orang bahkan sulit
terhitung jumlahnya tanpa perlu menunggu komando, atau menunggu status Lombok
akan ditetapkan menjadi bencana nasional atau tidak oleh pemerintah Indonesia,
langsung bergerak menyalurkan bantuannya baik secara langsung ataupun melalui
lembaga kemanusiaan yang terpercaya untuk mengirimkan bantuan ke Lombok. Tentu
sifat seperti ini akan sulit hadir jika bangsa ini memiliki sikap egois yang
tinggi yang mengatakan, masalahku ya masalahku, masalahmu itu masalahmu.
Menghilangkan sejenak keegoisan karena perbedaan pilihan politik, apalagi di
tahun politik seperti sekarang ini ternyata bisa dilakukan oleh kita dengan
terfokus kepada satu masalah utama yang harus diselesaikan yaitu. Membangun
Lombok kembali.
Sifat Dasar Relawan
Kalau kita membuka kamus Bahasa
Indonesia kita akan menemukan pengertian relawan adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak
karena diwajibkan atau dipaksakan). Sedangkan,
dalam kamus Oxford, definisi
relawan (volunteer) hamper serupa maknanya dengan yang ada di kamus
Indonesia, te rdapat dua pengertian tentang kata relawan, yaitu yang pertama “A
person who freely offers to take part in an enterprise or undertake a task” dan
yang kedua “A person who works for an organization without being paid”.
Pengertian atau makna yang
pertama hampir sejalan dengan pengertian yang terdapat dalam kamus Indonesia,
sedangkan pengertian yang kedua menjelaskan bahwa relawan itu bekerja tanpa
transaksional atau tanpa peduli transaksi materi (uang).
Jika mengacu ke dua kamus
tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa relawan itu memiliki sifat dasar
yang sama yang bisa tercermin kedalam perilaku dan tindakannya. Perilaku dan
tindakan yang di dorong oleh rasa kepedulian yang besar terhadap kesusahan
orang lain.
Sifat dasar itulah yang mampu
memulihkan Aceh pasca tsunami yang begitu dahsyat pada 26 Desember 2004 lalu.
Dan tentu penulis berharap dengan sifat kerelawanan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia, Lombok juga bisa segera pulih pasca berturut-turut di goncang dengan
musibah gempa bumi.
Kita lupakan sejenak perdebatan
mengenai segala hal, perbedaan pilihan siapa calon presiden kita ataupun
perdebatan mengenai status Lombok mau dibuat status bencana nasional ataupun
tidak. Biarlah itu suka-suka mereka yang memang ahli untuk memutuskan. Sekarang
mari kita sentuh hati kita masing-masing, masih adakah rasa kemanusiaan yang
hadir dalam seonggok daging yang Allah anugerahkan dalam tubuh ini, yaitu hati.
Jika masih ada, hentikan perdebatan, mari bergandengan tangan untuk segera
menuntaskan masalah kemanusiaan yang sedang hadir menguji bangsa Indonesia.
Kita yang bisa menyumbangkan
harta, silahkan sumbangkan harta terbaiknya, kita yang mampu menyumbangkan
tenaga dan keahlian mungkin bisa mengajukan diri kepada lembaga legal yang siap
memberangkatkan kita ke Lombok, atau kita yang hanya bisa berdo’a, mari kita
lantunkan do’a-do’a terbaik untuk saudara-sauadara kita di Lombok.
Kerelawanan dan Kepahlawanan
Kerelawanan dan kepahlawanan
memiliki kaitan yang sangat erat. Itu karena sifat-sifat kerelawanan pasti
dimiliki oleh mereka para pahlawan, baik pahlawan-pahlawan kita dahulu yang
sudah berjuang memerdekakan Indonesia ataupun pahlawan masa kini yang berjuang
untuk mengharumkan Indonesia. Setiap kita bisa menjadi pahlawan. Bahkan untuk
hal-hal yang tidak terduga sekalipun. Karakter kepahlawanan di contohkan oleh
Yohanes Ande Kala, bocah SMP di Silawan Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT) yang melakukan aksi heroik memanjat tiang bendera saat tali untuk
mengikat bendera yang akan di kibarkan oleh Paskibraka putus dan nyantol di
ujung tiang bendera. Yohanes dengan cepat merespon permintaan wakil Bupati
Belu, J.T Ose Luan, “Tolong cari anak-anak yang bisa panjat untuk ambil ujung
talinya” serunya dari atas podium.
Tanpa memikirkan keselamatan
dirinya dan juga imbalan apa yang nanti akan dia terima, Yohanes langsung
memanjat tiang bendera. Sampai saat ini aksinya tersebut tidak berhenti menuai
pujian dari banyak orang yang menyaksikan aksinya melalui media sosial.
Aksi Yohanes tersebut tidak
ubahnya seperti kisah sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. Yang saya tulis di awal
tulisan ini. Sayyidina Ali pada waktu itu langsung mengambil peran ketika
kesempatan kepahlawanan itu datang kepadanya. Tidak memikirkan keselamatan
dirinya apalagi memikirkan imbalan apa yang akan diterima olehnya nanti.
Jadi kesimpulannya, kita bisa
menghadirkan momen kepahlawanan dalam diri kita dengan cara menciptakan sifat
dan karakter relawan dalam setiap ucapan dan tindakan kita sehari-hari. Bangsa
Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar seperti sekarang ini itu karena rasa
yang terus dipupuk sampai saat ini, yaitu rasa kesatuan dan persatuan. Sulitnya
penjajah memecahbelah bangsa ini karena persatuan dan kesatuannya, ditambah
sifat kasih sayang dengan sesama yang begitu besar.
Mari kita hadirkan rasa
persaudaraan di bumi Indonesia. Tidak ada alasan untuk tidak bersatu. Sekarang
momennya. Lombok mau kita hadir memberikan sumbangsih terbaik kita. Terakhir,
penulis ingin menutup dengan kalimat sayyidina Ali bin Abi Thalib yang sangat
popular dan pas untuk kita saat ini. “Yang bukan saudaramu seiman, adalah
saudaramu dalam kemanusiaan,”.
*Penulis adalah Relawan Kemanusiaan MRI ACT Banten yang sedang bertugas
di Lombok.
No comments:
Post a Comment