Pelajaran bermakna ini saya terima kira-kira seminggu yang lalu. Dalam sebuah pertemuan dengan seorang teman yang saya anggap kakak sekaligus mitra bisnis saya. Beliau seorang PNS, salahseorang pejabat atas di lingkungan DPRD Provinsi Banten yang berlokasi di KP3B Banten.
Pada saat ngobrol, tiba-tiba hape beliau berbunyi, beliau lihat siapa yang telpon, dan langsung mengangkatnya. Saya tidak tahu kata-kata apa yang diucapkan oleh lawan bicara beliau di telpon, tapi lebih kurang yang beliau ucapkan seperti ini;
"Wa'alaikumsalam... Oh iyaa, maaaaaf ayah lupa. Tadi buru-buru soalnya, nanti gantinya double deh, sepulang kerja sama besok pagi ya". Ucap beliau dengan nada yang merajuk meminta maaf.
Iseng saya tanya; "Siapa pak, kok sampai segitunya meminta maaf?" Tanya saya yang masih menduga apakah itu istri atau anaknya yang menelpon.
"Istri saya... Dia kaget barusan pas pulang ke rumah, lihat cucian piring numpuk. Pagi-pagi biasanya jatah saya yang nyuci piring, cuma tadi buru-buru gak sempet kepegang itu cucian" Jawab beliau santai.
"Loh, emang bapak gak ada pembantu yang mengerjakan pekerjaan rumah?" Tanya saya balik.
"Pembantu ada, cuma kerjanya setiap dua hari sekali, prioritasnya hanya nyuci dan nyetrika baju" Jawab beliau kembali. Beliau pun langsung melanjutkan;
'Tahu gak di, masalah cuci piring ini pernah jadi bahan ledekan teman-teman saya di kantor. Kebetulan waktu itu ada yang datang ke rumah, pas saya lagi nyuci piring. Mereka kaget, kok pejabat seperti saya yang garang di kantor tapi masih nyuci piring. Di depan saya sih mereka gak ngomong langsung, tapi ada yang bilang ke saya, bahwa di kantor teman yang datang ke rumah tersebut ngomongin saya di depan teman-teman yang lain. Dan mereka sambil tertawa terbahak-bahak ada yang mengatakan bahwa saya takut sama istrinya". Begitu beliau cerita. Saya pun hanya tersenyum mendengarkan. (Si bapak gak tahu ya, bahwa saya juga punya jatah nyuci piring setiap hari dan nyebokin anak saya yang kecil kalau pipis dan pup 😁😁)
Beliau pun melanjutkan "Ternyata banyak orang yang beranggapan bahwa pada saat seorang suami mengerjakan pekerjaan yang katanya pekerjaan seorang istri seperti nyuci piring, ngepel, nyetrika, mandiin anak, dan lain-lain. Dianggapnya itu merendahkan derajat seorang suami, lalu memberi label seolah suami seperti itu adalah suami yang penakut, tidak punya wibawa.
Padahal bagi saya, letak kewibaan seorang suami adalah ketika istri dan anak-anaknya merasa bahagia dan merasa beruntung dengan adanya saya menjadi suami serta ayahnya anak-anak. Dan bagi saya seorang suami yang mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tadi, justru suami yang pemberani. Kenapa saya katakan pemberani? Karena dia berani mengambil peran atau pekerjaanyang kebanyakan tidak mau dikerjakan oleh lelaki." Jelas beliau kepada saya.
"Saya itu Di, hampir setiap malam selalu melakukan evaluasi diri. Bertanya kepada istri dan anak-anak saya tentang kekurangan diri saya pada hari itu. Kekurangan diri itu ibarat punggung kita. karena saya sadar, tidak ada manusia yang bisa melihat punggungnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan di rumah, istri dan anak-anak sayalah yang akan memberitahu apa saja yang ada di punggung saya, kalau ada kotoran, merekalah yang akan membantu menunjukannya kepada saya, sehingga saya bisa membersihkannya. Bahkan bisa jadi merekalah yang membersihkannya" Tutup beliau.
Yups.. pelajaran penuh makna di hari itu dari seorang yang memiliki kedudukan tinggi dalam karir jabatannya. Saya sudah izin ke beliau untuk menuliskan apa-apa yang beliau sampaikan kepada saya dalam obrolan waktu itu. Sayangnya beliau minta namanya di rahasiakan. Takut terkenal katanya kalau di posting sama saya 😁😁😁
Terlepas dari itu semua. Ada pelajaran berharga yang bisa saya ambil. Tentang posisi istri. Istri saya, saya nikahin dia bukan untuk saya jadikan pembantu, bukan untuk saya buat repot, bukan untuk saya buat sedih atau kecewa. Ketika dulu saya menikahinya dan berjanji di hadapan orangtuanya; bahwa saya akan menyayanguinya, bahwa saya akan memuliakannya, mengganti peran ayahnya yang dulu sekuat jiwa dan raganya melindungi kehormatannya, bahkan lebih jauhnya lagi berani mengambil peran ayahnya dalam hal menanggung dosa-dosanya. Wallahu'alam.
Jadi, ketika ada seorang suami yang begitu berani mengambil peran yang katanya perannya seorang istri, seperti mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anak. Tidak akan membuatnya hina dan pantas menjadi bahan bully'an di kalangan para pria. Justru laki-laki seperti itu sedang menjalankan dan menunaikan janji-janjinya. Sebagai bentuk hormat dia terhadap janji yang di ucapkan di hadapan orangtua istrinya dulu pada saat akan menikahinya.
Salam hormat saya untuk laki-laki yang masih mau mencuci piring dan nyebokin anaknya di rumah 🥰🥰🥰 Kamu laki-laki hebat. _AFH_
No comments:
Post a Comment